Menunggu atau pergi berlalu?

(Foto: Google)

 

Pada akhirnya kita memang dihadapkan pada dua pilihan, menunggu atau pergi berlalu?

Tak terkecuali saya, situasi di mana kita harus jeli untuk lebih memilih hati atau pikiran bahkan memilih untuk menyeimbangkan keduanya.

Ada satu hal yang membuat kita memilih untuk menunggu, biasanya karena seseorang yang kita cinta, seseorang yang sama kamu rindukan tiap harinya. Satu hal yang lainnya adalah hati. Hatimu apa kabar? Akankah terus baik-baik saja saat kau memutuskan untuk menunggu? Saya pikir hati takkan pernah baik-baik saja saat keputusan itu diambil, entah dalam waktu lama atau sebentar. Karena banyak alasan, pernah tahu mencintai dengan diam? Mencintai dari jauh? Mencintai karena alasan-alasan tak tentu? Memang, takkan pernah ada satu alasan pun kenapa mesti cinta.

Pergi berlalu pun seperti menunggu, hati terpaksa merawat sendiri lukanya. Dengan merelakan segala yang pernah kita anggap sebuah pertemuan menjadi sebuah kehilangan yang percuma. Karena tak sekali pun ada rasa yang demikin juga dirasa olehnya. Bukan begitu? Tapi kau tahu bukan, kalau sebuah kehilangan adalah awal dari menemukan yang lainnya. Sekiranya hatimu sesaat terhempas, sakit memang. Namun pada akhirnya, akan ada seorang dia yang membantu merawat lukamu sampai sembuh, sampai benar-benar sembuh.

Lagi-lagi, mengikutsertakan Tuhan dalam setiap perkara hati memang kunci. Karena kamu bisa lebih tahu mana benar mencintai atau mengagumi. Dengan sendirinya, Tuhan akan kasih pengertian itu untukmu. Juga tak melulu memelihara ego sehingga ia tumbuh besar di dirimu. Seperti, kamu memutuskan untuk menunggu tapi tanpa tahu baru saja kamu menyakiti dirimu sendiri untuk kesekian kali. Padahal kamu harusnya sadar, jangan sampai orang yang kamu abaikan sekarang adalah sosok yang kamu cari dan ingini selama ini. Jangan sampai.

 

Bekasi.

One thought on “Menunggu atau pergi berlalu?

  1. Dear Daniel..
    Aku suka sekali dengan postinganmu yang ini, padahal ini postinganmu pertama yang kubaca 😀 Mungkin karena aku merasa sedang dalam posisi yang ada dalam postinganmu ini ^^
    Aku mencintai orang yang sedari awal aku sadari, aku tidak akan bisa bersamanya. Bukan karena ia telah menambatkan hatinya pada seseorang, bukan juga karena aku tak tahu dan tak pernah mencari tahu apakah hatinya merasakan getaran yang sama seperti hatiku saat di dekatnya. Tetapi karena dari pertama kali aku jatuh cinta pada senyumnya, aku patah hati. Patah hati aneh yang baru pertama kali aku alami. Aku patah hati saat melihat bandul di kalung yang ia kenakan. Bandul yang sebenarnya membuatku sadar, dinding pemisah antara kami terlalu tinggi. Sekeras apapun aku berusaha menyentuh hatinya, bahkan mungkin saat ia juga merasakan hal yang sama, kami tetap tak bisa bersama. Berulang kali aku berusaha untuk menepis keinginanku untuk berada dekat dengannya, tapi berkali-kali juga egoku bertahan pada bahagia yang kurasa setiap kali jemarinya menjapit hidungku, tangannya mengusap kepalaku, bahkan walau hanya sebuah sapaan “dek” yang mendarat di handphone-ku. Iya, Daniel, selama ini ia menganggapku adiknya, dan rasanya akan tetap seperti itu. Berulang kali aku ingin menyerah, membuang jauh-jauh rasa ketergantunganku terhadapnya. Namun usahaku tak sebesar egoku yang selalu berteriak “lakukan apapun untuknya selagi kamu bisa, tak perlu pikirkan apa yang akan terjadi nanti”.
    Setelah membaca postinganmu di atas, aku seperti mendapat sebuah pencerahan, “sertakan Tuhan dalam urusan hati”, saat itu juga aku memutuskan untuk menyerahkan cerita ini pada-Nya. Entah apapun yang terjadi pada kami kelak, aku hanya ingin meminta pada Tuhan untuk selalu memeluknya pada penjagaan-Nya, walau harus melalui tangan wanita lain yang Tuhan kirimkan untuknya. Bukan tanpa rasa takut atau sedih. Setiap kali aku mengucapkan kalimat itu pada doaku, bahkan ketika aku menulis ini, aku tak bisa membendung hujan yang turun dari kedua mataku, karena aku yakin, Daniel, aku mencintainya..
    Ngomong-ngomong, terima kasih untuk pencerahannya :’)

Leave a comment